06 Agu Carbon Trading: Kelebihan, Kekurangan, Regulasi, dan Dampak
Beberapa periode terakhir, carbon trading atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai perdagangan emisi karbon semakin banyak dibicarakan di lingkup global. Di Indonesia sendiri, perdagangan karbon juga diatur secara rinci dalam berbagai regulasi khusus.
Tujuan utamanya adalah untuk membatasi emisi gas rumah kaca dari seluruh dunia, agar pihak perusahaan mampu menekan emisi karbonnya. Di sisi lain, pihak pemerintah juga dapat memantau volume emisi karbon yang dihasilkan oleh negara secara lebih sistematis.
Dari sisi perekonomian, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar sebenarnya memiliki potensi tinggi terhadap kredit karbon dunia. Jadi, ketahui seperti apa definisi, kelebihan dan kekurangan, regulasi terkait, hingga dampak dari sistem ini.
Definisi Carbon Trading dan Cara Kerjanya
Carbon trading, juga dikenal sebagai perdagangan karbon atau perdagangan emisi karbon, merupakan suatu sistem perdagangan antar negara yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida (CO2).
Secara lebih rinci, perdagangan karbon merujuk pada mekanisme kompensasi yang dilakukan oleh negara-negara industri maju, perusahaan, atau produsen emisi karbon untuk membayar dampak lingkungan dari karbon dioksida yang mereka hasilkan.
Adapun pembayaran kompensasi tersebut ditujukan kepada negara pemilik hutan atau negara yang berperan sebagai penyerap karbon, misalnya Indonesia. Jadi, mekanisme ini menjadi solusi bagi negara-negara maju dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Adapun izin perdagangan dalam mekanisme ini dibuat dalam bentuk pengurangan emisi karbon yang ditetapkan sebagai upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang ekstrim di masa depan.
Adapun gambaran skema atau cara kerja yang berlaku secara luas dalam lingkup internasional adalah sebagai berikut:
Negara Maju Membayar Skema Penurunan Karbon
Negara-negara maju dapat mengurangi emisi dengan membayar pengembangan skema penurunan karbon di negara-negara berkembang melalui mekanisme carbon trading.
Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa beberapa negara justru menciptakan lebih banyak emisi daripada yang berhasil dikurangi, sehingga efektivitas skema ini masih menjadi perhatian.
Skema Cap and Trade
Pada tingkat regional, nasional, dan internasional, sistem carbon trading harus mengikuti skema cap and trade. Maksudnya, skema ini akan menetapkan batas jumlah emisi yang diizinkan dari sumber yang ditentukan.
Termasuk di antaranya batas jumlah emisi karbon dari industri tenaga listrik, otomotif, dan penerbangan. Kemudian, pemerintah akan mengeluarkan perizinan sesuai dengan batas yang disepakati, lalu izin tersebut dilelang kepada perusahaan.
Perdagangan Izin Berlebih di Pasar Karbon
Skema terakhir, perusahaan yang berhasil membatasi produksi emisi karbon mereka sendiri secara signifikan bisa memperjualbelikan izin karbon mereka yang berlebih ke pasar karbon untuk ditukarkan dengan uang tunai.
Sebaliknya, perusahaan yang tidak bisa membatasi emisi mereka wajib membeli izin tambahan. Skema perdagangan ini sendiri aktif diterapkan di Uni Eropa dan beberapa wilayah Amerika Serikat, serta diprediksi akan segera berlaku juga di Indonesia.
Mengapa Perdagangan Karbon Bisa Terjadi?
Lalu, mengapa mekanisme carbon trading bisa muncul dan diterapkan secara global oleh berbagai negara dari seluruh dunia? Ternyata, perdagangan karbon muncul sebagai implikasi dari penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan karbon dioksida (CO2).
Sebab kebanyakan negara-negara maju yang menggunakan bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi mereka, pada dasarnya tidak menghadapi biaya langsung atas dampak lingkungan yang dihasilkan.
Meskipun biaya pembelian bahan bakar termasuk dalam pertimbangan ekonomi, ada biaya lain yang tidak tercakup dalam harga tersebut. Biaya ini disebut sebagai eksternalitas, yang dalam konteks pemanfaatan bahan bakar fosil seringkali memiliki konotasi negatif.
Ini berarti bahwa konsumsi bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon akan berdampak negatif pada pihak-pihak ketiga, baik dalam hal kesehatan maupun lingkungan. Berikut beberapa contohnya:
- Dalam hal kesehatan, eksternalitas mencakup biaya penyakit yang disebabkan oleh bahan bakar fosil, seperti kanker, penyakit jantung, stroke, dan gangguan pernapasan.
- Dalam hal lingkungan, eksternalitas mencakup biaya penanggulangan polusi, perubahan iklim, kerusakan lingkungan, serta masalah pemanasan global.
Sehingga ketika suatu negara ingin menggunakan bahan bakar fosil dan menghadapi eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan, maka pertimbangan berikutnya adalah bagaimana cara mereka akan membayar dampak tersebut.
Inilah yang menjadi dasar munculnya konsep carbon trading, yang pertama kali disepakati dalam Protokol Kyoto pada tahun 1997. Tujuan utama dari kesepakatan tersebut yaitu untuk mengurangi emisi karbon secara menyeluruh dalam rangka mencegah perubahan iklim.
Setelah Protokol Kyoto, diadakan Perjanjian Paris 2015 sebagai kesepakatan dari 197 negara untuk mengatur penurunan emisi. Caranya dengan membagi kelompok negara maju sebagai pihak yang wajib menurunkan emisi dan negara berkembang sebagai pihak yang tidak wajib.
Instrumen tersebut sekaligus menjadi pengganti dari Protokol Kyoto. Pada perjanjian ini, ditargetkan bahwa pada tahun 2030 nanti penurunan emisi karbon bisa menghindarkan kenaikan suhu akibat pemanasan global hingga 1,50 Celsius.
Kelebihan Mekanisme Carbon Trading
Jika ditinjau secara lebih detail, mekanisme perdagangan karbon memiliki kelebihan dari berbagai aspek. Mulai dari aspek lingkungan, perekonomian, hingga kerja sama politik internasional, berikut ini rincian lengkapnya:
Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Perdagangan karbon dapat memberikan insentif bagi perusahaan untuk mengurangi jejak karbon mereka dengan cara membeli dan menjual kredit karbon yang dimiliki atau dihasilkan.
Hal ini menciptakan solusi berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sekaligus ikut berkontribusi pada upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Dengan adanya harga karbon yang berlaku, maka perusahaan dihadapkan pada kewajiban untuk mengurangi emisi agar biaya karbon mereka lebih terkendali, sehingga bisa berdampak positif bagi lingkungan.
Mendorong Pengembangan Energi Bersih
Selanjutnya, carbon trading juga menciptakan insentif finansial bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi dan proyek energi bersih. Ini dilakukan untuk mendorong pengembangan dan implementasi solusi energi yang lebih bersih serta berkelanjutan agar emisi karbon bisa ditekan.
Sebagai contoh, perusahaan dapat menggunakan pendapatan dari penjualan kredit karbon mereka untuk mendanai proyek pembangunan energi terbarukan, misalnya pembangkit listrik tenaga surya atau tenaga angin.
Mendorong Inovasi Berkelanjutan
Dengan dorongan untuk terus mengembangkan energi bersih yang lebih efisien, maka inovasi di bidang teknologi berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan dan rendah emisi karbon juga akan semakin meningkat.
Sebab, setiap pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk mengurangi emisi dan mencari alternatif cara baru untuk mengatasinya. Inovasi ini tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri secara finansial, tetapi juga bisa membantu mengatasi masalah lingkungan secara lebih luas.
Meningkatkan Perekonomian Negara
Carbon trading akan menghasilkan pendapatan melalui penjualan kredit karbon. Karena itu, pertumbuhan pasar karbon dapat menciptakan peluang kerja dan merangsang aktivitas ekonomi.
Bahkan hingga saat ini, industri karbon dan perdagangan karbon sendiri telah menciptakan berbagai lapangan kerja baru. Seperti ahli lingkungan, analis pasar karbon, dan ahli keuangan profesional yang berspesialisasi dalam transaksi karbon.
Pendapatan dari penjualan kredit karbon tersebut kemudian dapat dialokasikan untuk pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berdampak positif bagi masyarakat negara terkait.
Menguatkan Kerja Sama Internasional
Dalam penerapannya, skema perdagangan karbon menyediakan platform untuk kerja sama internasional. Hal ini memungkinkan berbagai negara untuk bertemu dan bekerja sama dalam mengurangi emisi serta mengatasi dampak yang dihasilkan.
Dengan adanya sistem perdagangan karbon, negara-negara dapat saling berbagi pengalaman dan teknologi terbaru dalam mengurangi emisi.
Sehingga, ini bisa membantu untuk membangun hubungan antar negara yang lebih kuat dan memperkuat upaya global dalam menghadapi perubahan iklim.
Kekurangan Mekanisme Carbon Trading
Meskipun memiliki berbagai keunggulan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme perdagangan karbon juga memiliki beberapa kekurangan tertentu. Hal ini akan terjadi jika Anda tidak mengimplementasikannya secara optimal. Berikut ini beberapa di antaranya:
Resiko Campur Tangan Politik
Dalam pelaksanaannya, campur tangan politik dapat memberikan pengaruh besar pada efektivitas perdagangan karbon. Namun terkadang, taktik politik yang kurang tepat bisa menyebabkan jatuhnya harga karbon di pasar.
Kurangnya Ketersediaan Pasar Karbon
Sebagai komoditas tanpa nilai intrinsik, CO2 tidak punya nilai ekonomi yang melekat, sehingga menentukan harga yang tepat dapat menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, beberapa negara juga kekurangan bursa karbon yang aktif.
Jaminan Efektivitas
Masalah lain dalam carbon trading adalah terkait efektivitasnya dalam mengurangi emisi masih kerap dipertanyakan. Sebab, tidak ada jaminan bahwa negara-negara yang terlibat akan benar-benar mengurangi emisi mereka.
Faktor Eksternal
Contoh faktor eksternal yang dapat mempengaruhi implementasi perdagangan karbon antara lain yaitu perubahan kebijakan pemerintah, fluktuasi harga, hingga ketidakpastian pasar, sehingga target pengurangan emisi menjadi sulit dicapai.
Butuh Penegakan dan Pengawasan Ketat
Diperlukan sistem yang ketat dan efisien untuk memastikan bahwa setiap perusahaan mematuhi aturan dan batas emisi yang ditetapkan.
Tanpa pengawasan dan penegakan yang tepat, pelaksanaannya bisa tidak efektif dan rawan menimbulkan kecurangan. Namun, masih banyak negara yang penegakan regulasinya masih kurang ketat.
Tantangan yang Dihadapi dalam Menerapkan Perdagangan Karbon
Berdasarkan berbagai poin kekurangan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa tantangan yang menjadi kendala dalam menerapkan mekanisme perdagangan karbon. Di antaranya yaitu:
Kurangnya Kesadaran dari Pihak Terkait
Kurangnya kesadaran dari kalangan pengusaha industri maupun pihak pemerintahan tentang mekanisme ini dapat menghambat partisipasi dan komitmen mereka dalam upaya mengurangi emisi.
Sebagai solusi, harus diberikan pemahaman kepada berbagai pihak terkait mengenai pentingnya perdagangan karbon.
Dibutuhkan Teknologi Pengukuran Emisi
Untuk memastikan karbon yang diperdagangkan nilainya sesuai, dibutuhkan teknologi canggih dan tenaga ahli untuk melakukan pengukuran dan verifikasi emisi secara akurat. Namun, teknologi ini tidak selalu tersedia di beberapa negara, terutama di negara-negara yang kurang berkembang.
Kurangnya Sumber Daya Finansial
Kurangnya sumber daya finansial dan kurangnya pasar karbon yang aktif di beberapa negara juga merupakan tantangan besar bagi pengembangan carbon trading. Sebab, implementasi dan operasionalnya memerlukan investasi dan dukungan finansial yang cukup agar bisa berjalan dengan baik.
Kurangnya Regulasi yang Tepat
Tantangan terakhir, beberapa negara ternyata belum memiliki kerangka hukum yang kuat dan komprehensif untuk mengatur terkait implementasi perdagangan karbon. Tanpa kerangka hukum yang jelas, pengawasan dan penerapan aturan terkait menjadi lebih rumit dan kurang efektif.
Regulasi dan Instrumen Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Carbon Trading
Sejak kesepakatan dari Protokol Kyoto pada tahun 1997 hingga penerapan Perjanjian Paris 2015, Indonesia telah beberapa kali mengeluarkan berbagai regulasi yang berhubungan dengan perdagangan karbon. Berikut perkembangan regulasi awal hingga update terbarunya:
UU No. 32 Tahun 2009
Awalnya, Indonesia memberlakukan UU PPLH No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pembaruan dari UU Pengelolaan Lingkungan Hidup yang lama, yaitu UU No. 23 Tahun 1997.
Dalam UU PPLH No. 32 Tahun 2009 ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menerapkan instrumen lingkungan hidup. Dimana di dalamnya meliputi perencanaan pembangunan dan kegiatan perekonomian, pendanaan lingkungan hidup, serta pemberian insentif atau disinsentif.
Salah satu instrumen insentif ekonomi atas pengelolaan lingkungan hidup yang dibahas dalam UU tersebut adalah insentif terhadap pengembangan sistem perdagangan emisi, termasuk karbon.
PP No. 46 Tahun 2017
Selanjutnya, dibuat Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2017 yang isinya mengatur tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Di dalamnya, disebutkan bahwa pihak Perda maupun entitas perusahaan berhak mendapatkan insentif jika berhasil menurunkan emisi yang dihasilkan.
Adapun pemberian insentif yang dimaksud dilakukan sebagai upaya untuk mendorong setiap pihak agar melakukan kegiatan yang bisa berdampak positif bagi kualitas fungsi lingkungan hidup, baik secara moneter maupun non moneter.
Salah satu jenis insentif yang disebutkan adalah dasar pengembangan perdagangan emisi yang berbasis mekanisme pasar, yang wajib diberlakukan paling lambat 7 tahun sejak peraturan tersebut diberlakukan, yaitu pada tahun 2024.
Perpres No. 77 Tahun 2018
Berdasarkan PP No. 46 Tahun 2017, kemudian dikeluarkanlah Peraturan Presiden (Perpres) No. 77 Tahun 2018 yang isinya mengamanatkan tentang pembentukan BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup).
BPDLH berperan sebagai lembaga untuk memobilisasi sumber dana dari berbagai insentif pengelolaan limbah. Termasuk dari bidang ESDM, kehutanan, jasa lingkungan, transportasi, industri, pertanian, kelautan dan perikanan, serta perdagangan karbon (carbon trading).
Perpres No. 98 Tahun 2021
Lebih lanjut, pada Oktober 2021 Pemerintah Indonesia merilis peraturan terbaru yaitu Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Di dalam Perpres tersebut, diatur tentang aksi mitigasi serta adaptasi sebagai 2 metode utama dalam mengatasi perubahan iklim, dimana isinya diadopsi dari ratifikasi Indonesia terhadap Perjanjian Paris.
Dibanding peraturan sebelumnya, Perpres No. 98 Tahun 2021 ini adalah yang paling rinci karena sudah menggunakan istilah NEK (Nilai Ekonomi Karbon), serta sudah memuat mekanisme detail tentang sistem carbon trading yang akan dilaksanakan di Indonesia.
Permen LHK No. 21 Tahun 2022
Sebagai turunan atas Perpres No. 98 Tahun 2021 di atas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Jika Perpres No. 98 Tahun 2021 mengatur tentang mekanisme perdagangan karbon, maka Permen No. 21 Tahun 2022 ini berfokus pada aturan teknis dalam mekanisme perdagangan karbon di Indonesia. Adapun pilihan mekanisme yang diatur adalah sebagai berikut:
Perdagangan Karbon
Mekanisme ini disebut juga dengan istilah perdagangan emisi. Dalam peraturan ini, ada 2 jenis perdagangan emisi yang diakui yaitu:
-
Cap and Trade
Perdagangan karbon dari para pelaku usaha, baik antar maupun lintas sektor. Meliputi sektor energi, kehutanan dan penggunaan lahan, limbah pertanian, serta industri dan proses produksi.
Menteri dari tiap sektor terkait akan menetapkan batas emisi atau cap yang diperbolehkan pada setiap pelaku usaha. Jika emisi suatu usaha melebihi batas, mereka wajib membeli kelebihannya pada pelaku usaha lain yang emisinya lebih rendah.
-
Carbon Offset
Carbon offset (pengimbangan karbon) dilakukan untuk sektor yang tidak memiliki kuota emisi. Jadi, pihak yang produksi emisinya lebih besar dari ambang batas bisa membeli kelebihan emisi.
Kelebihan emisi tersebut dibeli dari pihak yang menyediakan usaha penyerapan karbon. Jadi, mekanisme ini bisa dilakukan melalui bursa atau pasar karbon serta perdagangan langsung antar penjual-pembeli.
Pembayaran Berbasis Kinerja
Mekanisme carbon trading selanjutnya yang diatur dalam Permen ini adalah Pembayaran Berbasis Kinerja (Result Based Payment). Ini mengacu pada insentif/pembayaran yang didapatkan melalui hasil capaian pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang sudah terverifikasi atau tersertifikasi.
Pembayaran Berbasis Kinerja dapat dilaksanakan dalam lingkup internasional, nasional, hingga provinsi. Contohnya bisa dilihat dari perdagangan karbon antara pemerintah Indonesia dengan Norwegia dalam bentuk perjanjian kerja sama untuk mengurangi emisi, yang kinerjanya dihargai per unit karbon.
Pungutan Karbon
Pungutan yang dimaksud mengacu pada pungutan yang diberlakukan negara, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah, kepada barang/jasa dan kegiatan/usaha yang memiliki potensi emisi atau memproduksi emisi karbon.
Mekanisme Lain
Selain 3 mekanisme utama yang sudah diatur teknisnya, Permen ini juga memperbolehkan skema lain yang bisa disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
Dampak Positif dan Negatif Perdagangan Karbon di Indonesia
Setiap jenis kebijakan tentu akan menghasilkan dampak positif maupun negatif, tergantung pada mekanisme dan efektivitas penerapannya. Berikut ini beberapa dampak positif yang bisa diperoleh Indonesia jika menerapkan sistem perdagangan karbon secara efisien:
- Menghasilkan pendapatan fiskal yang bisa dialokasikan untuk berbagai kebutuhan negara. Contohnya untuk penelitian dan pengembangan terkait iklim, pengembangan teknologi terbarukan, reformasi pajak, dan lain-lain.
- Meningkatkan kualitas udara dan kondisi lingkungan, sebab pengurangan emisi GRK dapat mengurangi nilai polusi udara secara signifikan.
- Mendorong inovasi dalam bidang teknologi berkelanjutan, sebab para pelaku usaha yang terlibat dalam pengurangan emisi bisa memperoleh insentif khusus.
Di sisi lain, perdagangan karbon juga bisa memberikan dampak negatif bagi negara jika penerapannya tidak maksimal. Salah satunya yaitu potensi campur tangan politik dari pihak-pihak tertentu yang mempermainkan harga di bursa karbon.
Peluang dan Potensi Carbon Trading di Indonesia
Jika didukung oleh instrumen kebijakan pemerintah yang diimplementasikan dengan baik, luasnya hutan Indonesia dapat memberikan keuntungan yang besar melalui skema perdagangan karbon.
Melansir data dari Indonesia Carbon Trading Handbook, Indonesia diketahui mempunyai 125,9 juta ha hutan hujan tropis, 3,31 juta ha hutan mangrove, serta 7,5 juta ha lahan gambut. Masing-masing lahan tersebut berturut-turut dapat menyerap sebesar 25,18 miliar ton, 33 miliar ton, dan 55 miliar ton gas karbon.
Jika nilainya dikonversi, Indonesia dapat memperoleh pendapatan hingga sebesar 565,9 miliar USD atau setara dengan Rp8.000 triliun. Itu sebabnya, masa depan perdagangan karbon di Indonesia bisa sangat menguntungkan jika diterapkan secara maksimal.
Untuk itu, setiap pelaku usaha perlu mengukur emisi karbonnya secara berkala sebagai upaya untuk mengetahui peluang keuntungan yang bisa diperoleh. Sebagai solusi, Anda bisa menggunakan layanan sertifikasi dari PT Mutuagung Lestari Tbk atau Mutu International.
Mutu International adalah lembaga yang menyediakan audit dan sertifikasi untuk berbagai kebutuhan industri. Salah satunya yaitu sertifikasi terhadap validasi/verifikasi GRK (Gas Rumah Kaca) seperti karbon dan sejenisnya.
Dengan mengukur dan melakukan verifikasi GRK secara berkala, Anda bisa menghitung hasil pengurangan emisi untuk mengetahui berapa potensi keuntungan yang bisa diperoleh melalui mekanisme carbon trading.
PT Mutuagung Lestari Tbk atau Mutu International merupakan perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1990. Kami melayani berbagai jasa pengujian, inspeksi, dan sertifikasi untuk berbagai macam industri. Tim ahli kami yang didukung oleh pengalaman selama lebih dari 30 tahun, bekerja untuk mengidentifikasi masalah dan menyarankan solusi yang sesuai, guna meningkatkan kinerja perusahaan Anda secara efektif dan efisien.
MUTU menyediakan jasa sertifikasi untuk berbagai sektor, yaitu sektor Pertanian (Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan lain-lain, Industri Jasa Publik (sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, sistem manajemen keamanan informasi, dan lain-lain), Pangan (Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)), sistem manajemen keamanan pangan, pangan organic, dan lain-lain), Ekonomi Hijau (sertifikasi gas rumah kaca, ISCC, dan lain-lain), Kehutanan (Forest Stewardship Council (FSC)), pengelolaan hutan produksi lestari, dan lain-lain) dan Produk Kehutanan (Ekolabel, Japanese Agricultural Standard (JAS), dan lain-lain).
Sejak berdirinya bergerak dibidang sertifikasi kehutanan dan industri yang telah memperoleh akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), dan lembaga akreditasi mancanegara lainnya.Untuk melakukan pengurusan sertifikasi ISPO, Anda bisa menghubungi MUTU International.
Silahkan hubungi MUTU International melalui E-Mail: [email protected], Telepon: (62-21) 8740202 atau kolom Chat box yang tersedia. Hubungi MUTU International sekarang juga. Follow juga seluruh akun sosial media MUTU International di Instagram, Facebook, Linkedin, Tiktok, Twitter , Youtube dan Podcast #AyoMelekMUTU untuk update informasi menarik lainnya.