Kriteria dan Standar yang Harus Disiapkan untuk Sertifikasi Hutan

Kriteria dan Standar yang Harus Disiapkan untuk Sertifikasi Hutan

Hutan perlu memperoleh sertifikasi jika dimanfaatkan untuk keperluan industri. Dengan demikian, hasil hutan tersebut bisa sesuai dengan standar dan hukum yang berlaku. Berbagai kriteria dan standar pun perlu diperhatikan dan dipenuhi saat mempersiapkan hutan untuk sertifikasi.

Kriteria dan standar ini memang bisa berbeda pada masing-masing jenis sertifikasi. Bagaimanapun juga, ada kriteria dasar yang diminta oleh mayoritas sertifikasi tersebut. Simak penjelasan lebih lanjut dalam artikel ini.

Kriteria Dasar yang Harus Dipenuhi saat Mempersiapkan Hutan untuk Sertifikasi

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sertifikasi memerlukan kriteria dan standar yang harus dipenuhi. Berikut beberapa kriteria serta standar dasar yang dimiliki oleh mayoritas sertifikasi di dunia, khususnya di Indonesia.

  • Pemanenan kayu dilakukan dengan konsep berkelanjutan
  • Adanya sistem komplain atau pengajuan gugatan dari konsumen jika ada ketidaksesuaian
  • Perlindungan terhadap berbagai spesies, keanekaragaman hayati, dan habitat bagi hewan yang terancam punah
  • Perlindungan terhadap kualitas air
  • Adanya keterlibatan lebih dari satu pemangku kepentingan usaha kehutanan
  • Adanya aktivitas untuk meregenerasi hutan seperti penanaman kembali

Jenis-jenis Sertifikasi

Dalam mempersiapkan hutan untuk memperoleh sertifikat, ada berbagai jenis sertifikasi yang perlu diketahui. Dengan demikian, pihak-pihak terkait bisa memilih sertifikasi apa yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan usaha. Berikut beberapa di antaranya yang biasa dilakukan di Indonesia.

  • FSC

FSC adalah kependekan dari Forest Stewardship Council. Dalam sejarahnya, FSC-lah yang menjadi pihak ketiga dalam memberikan standar sertifikasi hutan untuk pertama kalinya. Hal tersebut terjadi pada tahun 1993.

Pada dasarnya, FSC merupakan sertifikasi yang bisa diajukan oleh para pelaku usaha sebagai bukti bahwa mereka memperhatikan kelestarian hutan. Jadi, hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian perlu dipenuhi dalam mempersiapkan hutan untuk memperoleh sertifikasi ini.

Sertifikasi FSC dibagi menjadi beberapa jenis. Jenis pertama adalah Sertifikasi Lacak Balak atau Chain of Custody. Sertifikasi ini bisa dimiliki oleh penjual atau produsen yang memanfaatkan kayu sebagai bahan baku maupun komoditas ekonominya.

Lalu, ada Sertifikasi Pengelolaan Hutan atau FM-FSC. Sertifikasi ini bisa dimiliki pengelola maupun pemilik hutan. Berbagai standar atau kriteria FSC perlu diperhatikan dalam mempersiapkan hutan untuk mendapatkan sertifikat ini. Kriteria tersebut meliputi bidang sosial, lingkungan, maupun ekonomi.

Selain itu, ada juga Sertifikasi FSC Recycled. Sertifikasi ini bisa dimiliki oleh para pelaku usaha atau pemilik hutan yang memperhatikan daur ulang sampah. Selain itu, sertifikasi ini juga bisa dimiliki oleh mereka yang memanfaatkan barang bekas sehingga hutan pun terlindungi.

  • Sertifikasi SVLK

Sertifikasi SVLK merupakan singkatan dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Sertifikasi ini harus dimiliki oleh para pelaku usaha kehutanan sebagai bukti bahwa produk yang dijual telah legal diperdagangkan.

Berbagai kriteria perlu diperhatikan dalam mempersiapkan hutan untuk memperoleh sertifikasi ini, terlebih lagi hutan yang hasilnya berupa kayu. Hasil tersebut bisa berupa produk jadi maupun bahan baku.

Adanya sertifikasi ini bisa mempermudah para pelaku usaha untuk memperdagangkan produk-produknya. Terlebih lagi, jika para pelaku usaha ingin mengekspor kayu tersebut ke luar negeri.

Dalam kegiatan ekspor sendiri, para pelaku usaha yang memiliki sertifikasi ini bisa menerbitkan dokumen V-Legal. Dokumen ini akan diperiksa oleh pihak-pihak terkait saat produk kayu akan keluar dari negara pengirim maupun saat diterima oleh negara tujuan.

Pelaku usaha yang harus memiliki sertifikasi ini adalah pemilik Industri Lanjutan atau IUI Lanjutan), Industri Primer Hasil Hutan Kayu atau IUIPHHK, dan Tanda Daftar Industri atau TDI. Di samping itu, pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu atau IUPHHK juga harus memilikinya

Di samping itu, ada pihak-pihak lain yang harus mempersiapkan hutan untuk mendapatkan sertifikasi ini. Misalnya adalah pemilik Izin Pemanfaatan Kayu atau IPK, pemilik hutan hak, 

  • Sertifikasi PEFC

PEFC mempunyai nama lain Program Persetujuan Sertifikasi Hutan. Sejatinya, PEFC adalah organisasi yang memiliki program pengelolaan hutan berkelanjutan. Program ini memiliki standar untuk dipenuhi pihak-pihak terkait agar memperoleh sertifikasinya.

Ada dua jenis Sertifikasi PEFC yang perlu diketahui pihak-pihak terkait dalam mempersiapkan hutan untuk mendapatkannya. Kedua jenis tersebut yaitu Lacak Balak dan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan.

Sertifikasi Lacak Balak bisa dimiliki sebagai bukti bahwa seluruh rantai pasokan hasil hutan telah dipantau secara ketat. Rantai pasokan inipun telah dipantau ketat oleh audit independen. Selain itu, sertifikasi ini memudahkan pelacakan kayu yang berupa produk akhir dari sumber hutan dengan konsep berkelanjutan. 

Lalu, Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berkelanjutan adalah bukti bahwa hutan telah dikelola sesuai persyaratan yang ditetapkan. Persyaratan tersebut meliputi bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial sehingga dapat menyeimbangkan keuntungan, masyarakat, dan kehidupan Bumi itu sendiri.

Alasan Mengapa Pemenuhan Standar dan Kriteria Sertifikasi Itu Penting

Alasan di balik mengapa pihak-pihak terkait perlu mempersiapkan hutan untuk memperoleh sertifikasi dengan memenuhi standar dan kriteria yang ada berkaitan dengan sejarah sertifikasi di masa lampau.

Pada akhir tahun 1980-an, banyak orang di dunia yang merasa khawatir akan nasib hutan hujan tropis. Hal ini disebabkan oleh hancurnya hutan hujan tersebut akibat digunakan secara terus menerus oleh industri kayu.

Kehancuran hutan hujan tropis ini akan berpengaruh kepada kehidupan makhluk hidup termasuk manusia itu sendiri. Itulah mengapa aksi boikot diadakan. Hal ini membuat dibentuknya Organisasi Kayu Tropis Internasional untuk mengatasi masalah ini.

Dalam mengatasi masalah tersebut, semua pihak sepakat bahwa hutan tetap harus dikelola secara lestari sembari dimanfaatkan hasilnya dalam kegiatan ekonomi sehingga kebutuhan masyarakat pun bisa terjamin.

Di sisi lain, para pelaku usaha maupun konsumen juga tergerak untuk mengetahui asal usul kayu yang digunakan. Mereka ingin memahami dari mana sumber kayu tersebut dan bagaimana cara pengelolaannya.

Maka dari itu, muncul berbagai gagasan mengenai standar maupun kriteria sertifikasi yang harus dipenuhi. Pada awalnya, standar ini dibentuk oleh kelompok-kelompok tertentu sehingga masing-masing dari mereka mempunyai standar yang berbeda.

Cara kerja kelompok-kelompok tersebut adalah dengan mengikuti panggilan konsumen. Nantinya, berbagai kelompok ini melakukan audit sesuai standar yang dimiliki. Perum Perhutani pun menjadi pihak pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat hutan lestari pada tahun 1990 menurut standar yang dibentuk Smartwood.

Pada akhirnya di tahun 1993, standar sertifikasi hutan pihak ketiga disediakan oleh FSC untuk pertama kalinya. Berbagai kriteria maupun standarnya pun masih diperhatikan hingga saat ini oleh berbagai pihak dalam rangka mempersiapkan hutan untuk memperoleh sertifikasinya.

Setelah FSC, berbagai standar sertifikasi terus bermunculan. Saat ini, total ada sekitar 50 jenis sertifikasi yang ada di seluruh dunia.

Jika ingin lebih mengetahui jenis-jenis sertifikasi serta berbagai standar atau kriteria yang perlu diperhatikan dalam rangka mempersiapkan hutan untuk mendapatkannya, maka Anda bisa menghubungi Mutu International dengan klik di sini. Tak perlu khawatir karena Mutu International merupakan lembaga terpercaya.