31 May Indonesia Bersiap Masuk ke Pasar Karbon
Pasar Karbon tidak secara jelas disebutkan mekanismenya oleh Paris Agreement. Istilah pasar karbon menggambarkan bentuk kerjasama antar negara sebagai bentuk komitmen dalam mengendalikan kenaikan suhu global untuk membantu mengurangi dampak dari Gas Rumah Kaca (GRK).
Dewasa ini, laju perubahan iklim di Indonesia dinilai semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya Indonesia, beberapa negara lainnya seperti China dan negara-negara di Afrika mengalami berbagai bencana iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka perlu dilakukan berbagai macam upaya mitigasi pengurangan emisi secara global sekaligus mengurangi laju pemanasan global yang menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim.
Pada Juli 2021, Indonesia menyetorkan NDC terbaru sebagai bentuk kontribusinya dalam memitigasi dampak perubahan iklim di bawah Paris Agreement. Salah satu di antaranya ialah kesiapan Indonesia untuk terlibat secara aktif dalam pasar karbon.
Mengenal Pasar Karbon
Seperti pasar pada umumnya, istilah pasar karbon digunakan untuk menggambarkan bentuk kerjasama antar negara sebagai bentuk komitmen dalam mengendalikan kenaikan suhu global untuk membantu mengurangi dampak dari Gas Rumah Kaca (GRK). Hal ini sejalan dengan Paris Agreement yang telah diadopsi pada COP 21 UNFCCC pada bulan Desember 2015 silam.
Paris Agreement memang tidak menyebutkan secara jelas mengenai mekanisme dari pasar karbon ini, namun tiap negara yang terlibat dapat mengejar co-operative approaches dan secara sukarela menggunakan international transferred mitigation outcomes (ITMOs) untuk membantu memenuhi target pengurangan emisi GRK.
Dilansir dari laman ditjenppi.menlhk.go.id, sebelum Paris Agreement diadopsi, perdagangan karbon telah diimplementasikan melalui berbagai mekanisme, antara lain melalui Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih) yang pengaturannya berada dibawah Protokol Kyoto dan Joint Credit Mechanism (JCM). Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme yang dapat dilakukan antara negara Annex I dan negara Non-Annex I dengan “offset” (pihak pembeli memperoleh kredit Certified Emission Reduction/CER dari proyek CDM).
Sementara JCM merupakan mekanisme perdagangan karbon bilateral, termasuk aspek transfer teknologinya. JCM tidak hanya semata merupakan perdagangan karbon tetapi merupakan investasi hijau dan pembangunan rendah emisi.
Instrumen pasar karbon merupakan mekanisme berbasis pasar yang berpotensi mengurangi emisi GRK sekaligus menghemat biaya. Implementasinya memungkinkan akses yang lebih luas, mengingat kegiatan mitigasi dapat dilakukan secara ekonomis, sehingga target NDC yang lebih luas dapat tercapai.
Pasar karbon mengacu pada sistem pasar yang memiliki permintaan dan penawaran. Pasar karbon menempatkan persyaratan untuk mengurangi emisi pada sisi permintaan sesuai dengan target pengurangan emisi yang telah ditentukan. Sedangkan pada sisi penawaran dalam pasar karbon, memungkinkan dilakukannya perdagangan emisi karbon.
Klasifikasi Pasar Karbon
Menurut Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2013, pasar karbon dapat diklasifikasikan berdasarkan dasar pembentukan dan mekanisme perdagangan karbon.
Berdasarkan dasar pembentukannya, pasar karbon dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
1. Pasar karbon sukarela (voluntary carbon market)
Pasar karbon sukarela terbentuk karena adanya keinginan sendiri untuk mengurangi emisi GRK. Pasar karbon sukarela mencakup semua transaksi karbon di luar pasar karbon aktif yang diatur oleh pemerintah.
Hal mendasar dari pasar karbon sukarela adalah mekanisme tersebut tidak diatur oleh pemerintah, namun pada umumnya dikembangkan oleh pihak swasta yang kemudian terdaftar di organisasi yang mengeluarkan kredit karbon sesuai dengan pengurangan emisi.
Namun demikian, pemerintah dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan target pencapaian pengurangan. Pembelian karbon didorong oleh berbagai pertimbangan yang terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan, etika, dan risiko reputasi atau rantai pasokan.
Pasar karbon sukarela penting untuk mengarahkan pembiayaan oleh pihak swasta terhadap proyek aksi mitigasi iklim. Contohnya, berbagai proyek Solusi Berbasis Alam atau Nature-Based Solutions (NBS) yang bermanfaat bagi pencegahan polusi, perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan kualitas hidup masyarakat hingga penciptaan lapangan kerja.
2. Pasar karbon wajib
Pasar karbon wajib terbentuk karena adanya regulasi dalam pengurangan dan/atau pembatasan jumlah emisi GRK yang dikeluarkan. Volume pasar karbon wajib bergantung pada lingkup kebijakan dan relatif lebih mudah direncanakan dalam jangka panjang. Pasar karbon wajib didorong oleh pembatasan emisi GRK yang ditetapkan, dan dijalankan pada skala yang jauh lebih luas.
Program karbon wajib yang paling aktif adalah United Nations Clean Development Mechanism (UN CDM) di bawah Kyoto Protocol dan skema Perdagangan Emisi Uni Eropa.
Selanjutnya, berdasarkan mekanisme perdagangan, secara umum pasar karbon dibagi menjadi :
1. Trading
Emissions trading system atau sistem perdagangan emisi menggunakan konsep cap-and-trade dengan cara pembatasan emisi gas rumah kaca yang diperbolehkan. Pihak yang membutuhkan dapat membeli hak emisi dari pihak lain yang kuota emisinya tidak terpakai untuk memenuhi batas emisi yang ditetapkan. Sistem perdagangan emisi karbon ini sudah diterapkan di Uni Eropa dan menjadi sistem perdagangan karbon terbesar bernama European Union Emission Trading System (EU ETS).
EU ETS merupakan pasar karbon pertama dan terbesar dunia yang telah menerapkan cap-and-trade system sejak tahun 2005. EU ETS memberikan batasan pada total volume emisi karbon dari kegiatan pembangkit listrik, pabrik industri, dan operasi penerbangan di 31 negara yang menyumbang sekitar 50% emisi karbon Uni Eropa. Pada tahun 2019, instalasi yang dicakup oleh EU ETS telah mengurangi emisi karbon sebesar 9% (European Commission, 2020).
EU ETS telah menjadi acuan bagi negara-negara lain yang telah atau akan mengembangkan pasar karbon. Korea Selatan meluncurkan The Korea Emissions Trading Scheme (KETS) pada tahun 2015 yang mencakup lebih dari 70% emisi gas rumah kaca Korea Selatan (ICAP, 2021). Sektor yang dijangkau KETS meliputi sektor panas dan energi, industri, bangunan, transportasi, limbah, dan sektor publik. Menurut ADB (2018), KETS merupakan pasar karbon terbesar ke-3 di dunia dan pasar karbon nasional kedua di Asia.
2. Crediting
Dalam skema crediting dengan konsep baseline-and-crediting, objek yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang disertifikasi (kredit karbon) dari pelaksanaan proyek yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Pelaksanaan proyek diharapkan dapat melebihi atau mengurangi jumlah emisi karbon yang dihasilkan perusahaan.
Indonesia bersiap Masuk ke Pasar Karbon
Sebagai negara yang kaya akan SDA, Indonesia memiliki potensi ekonomi besar untuk menjadi penyumbang kredit karbon dunia. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2022) mencatat sudah ada nilai potensi ekspor kredit karbon dari proyek-proyek “beyond NDC” sekitar Rp2,6 triliun per tahun dengan luas hutan sebesar 434.811 Ha. Selain itu, ekosistem blue carbon Indonesia menyimpan sekitar 75-80 persen dari jumlah karbon dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi kredit karbon besar tidak hanya dari sektor hutan, namun juga ekosistem pesisir.
Pemerintah Indonesia saat ini telah menyiapkan regulasi sebagai payung hukum perdagangan karbon. Salah satu regulasi tersebut ialah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang telah ditetapkan pada 12 Januari 2023 lalu.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada 3 Mei 2023 lalu, Presiden Jokowi telah memimpin langsung rapat internal mengenai perdagangan karbon yang dihadiri oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, dan Lingkungan Hidup, Menteri Investasi, dan pejabat terkait lainnya.
Dari rapat internal tersebut, ada beberapa hal yang dirasa masih perlu diperbaiki termasuk mengenai penataan izin konsesi hutan lindung, hutan konservasi, dan beberapa izin lainnya. Beberapa sektor yang disebutkan paling berkaitan dengan perdagangan karbon di antaranya sektor energi, kehutanan dan industri.
Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun berharap bahwa ada tiga hal yang dapat menjadi perhatian pemerintah dalam menjalankan regulasi bursa karbon, yaitu :
Pertama, regulator harus menjaga jarak dengan penyelenggara bursa karbon.
Kedua, penyelenggara bursa karbon harus independen karena dinilai akan menarik minat pelaku pasar karbon di seluruh dunia untuk turut meramaikan perdagangan karbon di Indonesia.
Ketiga, penilai emisi GRK harus kredibel dan dapat menjadi referensi harga karbon.
Ketiga hal tersebut penting untuk menjadi perhatian, agar pasar karbon di Indonesia tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, namun dapat mendorong percepatan net zero emissions.
Ingin Ikut terus Berkontribusi dalam Menjaga Lingkungan Indonesia?
PT Mutuagung Lestari atau Mutu International merupakan perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1990 dan bergerak di bidang jasa inspeksi, testing, serta sertifikasi atau TIC (Training, Inspection, and Certification).
Silahkan hubungi MUTU International melalui E-Mail: [email protected], Telepon: (62-21) 8740202 atau kolom Chat box yang tersedia. Hubungi MUTU International sekarang juga. Follow juga seluruh akun sosial media MUTU International di Instagram, Facebook, Linkedin, Tiktok, Twitter , Youtube dan Podcast #AyoMelekMUTU untuk update informasi menarik lainnya.