Industri Sawit Berkontribusi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap agar rencana pemerintah mengeluarkan moratorium perluasan lahan kelapa sawit dipertimbangkan karena justru akan melemahkan sektor perkebunan yang memberikan kontribusi kepada ekspor nonmigas.

Tudingan industri kelapa sawit sebagai perusak lingkungan, penyumbang terbesar dalam percepatan pemanasan global dan berbagai mitos lain, telah menimbulkan kondisi yang tidak kondusif dalam pengembangan investasi yang berbasis lingkungan dan kehutanan.

Ironisnya, hal tersebut diikuti oleh pemerintah Indonesia dengan membuat kebijakan yang menghambat lajunya pertumbuhan industri sawit. Mulai dari moratorium pemanfaatan lahan gambut, moratorium hutan, sertifikasi produk, hingga aturan aturan yang berkaitan dengan pengolahan limbah.

Padahal semua yang ditudingkan itu, satupun tak ada kebenarannya. Dari fakta-fakta empiris, bahwa gerakan yang dilancarkan itu, tidak memiliki dasar rasionalitas yang memadai. Sebut saja dalam hal kontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Togar Sitanggang selaku Sekjen GAPKI dalam acara Workshop Gambut untuk Budidaya Sawit yang Berkelanjutan di Jogjakarta, “Kontribusi pertanian global, tentu termasuk kelapa sawit didalamnya, hanyalah 11 persen. Terbesar emisi gas rumah kaca global bersumber dari konsumsi bahan bakar fosil, mencapai 69 persen”.

Adapun kontribusi terbesar dari pertanian bersumber dari peternakan, pertanian padi dan penggunaan pupuk. “Sementara pemanfaatan lahan gambut global hanya sekitar 2 persen”, tandas Togar.

Merujuk data dan angka ini, mitos bahwa sawit sebagai penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, sangatlah tidak benar. Terlebih lagi bila dikuatkan dengan data dan fakta negara-negara pengemisi gas rumah kaca terbesar dunia. Pangsa Indonesia dalam emisi gas rumah kaca global hanya 4 persen.

Artinya sangat kecil sekali bila dibanding dengan Tiongkok, Amerika Serikat, Eropa dan India. “Keempat Negara tersebut menyumbang sekitar 50 persen emisi gas rumah kaca global”.

Karena itu, sangat tidak beralasan bila pemerintah memaksakan diri untuk membuat kebijakan yang dipastikan akan melumpuhkan ekonomi nasional yang bersumber dari industri sawit. Padahal kontribusi  sawit terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa sangatlah besar. Perolehan devisa dari sawit kini sudah jauh melampaui nilai ekspor migas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor kelapa sawit pada 2015 mencapai US$ 18,6 miliar. Hal tersebut membuktikan bahwa komoditas sawit menjadi penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Menurut Togar, nilai ekspor sawit sudah melampaui migas.

Adapun isu kerusakan lingkungan dilontarkan pihak asing lebih didasari pada kompetisi bisnis minyak nabati dunia yang merasa terancam dengan berkembang pesatnya industri sawit Indonesia dan Malaysia.

Sumber : Marketing Communication