27 Agu Integrasi AI di Industri TIC: Efisiensi Meningkat, SDM Terampil Jadi Tantangan
Arifin Lambaga
Praktisi dan Pemerhati Industri Testing, Inspection, Certification (TIC)
GELOMBANG pemanfaatan artificial intelligence (AI) tak terbendung lajunya, di seluruh dunia. Industri global dalam berbagai skala, berlomba-lomba mengadopsinya. Baik yang bertujuan mencapai kinerja yang lebih efisien, maupun untuk menemukan wawasan baru pengembangan produk.
Jika dirunut sejak diluncurkannya ChatGPT pada 30 November 2022, ChatGPT memang bukan AI yang pertama kali dikenal dunia. Varian Generative AI ini, tak berhenti pemanfaatannya oleh berbagai perusahaan maupun perorangan.
TechCrunch dalam laporan yang diterbitkannya 25 Juli 2025, menyebut tak kurang dari 2,5 miliar permintaan pengguna global ChatGPT setiap hari. Hari ini, menurut Sam Altman, CEO OpenAI, volume pencariannya telah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam waktu delapan bulan. Sedangkan perusahaan induk Google, Alphabet, walaupun tak menampilkan data pencarian harian, mengungkapkan perangkat berbasis AI ini, menerima 5 triliun permintaan per tahun. Ini berarti, mencapai 14 miliar pencarian per hari. Angka-angka ini, tampaknya tak bermakna jika tak dikaitkan untuk menelaah pembentukan ekosistem AI.
Saat sebuah entitas perusahaan mulai mengadopsi AI, akan terjadi transformasi praktik kerja yang beruntun, diikuti transformasi bidang lainnya. Tenaga kerja dengan keterbatasan daya tahan fisik maupun ketelitian mental, saat berkolaborasi dengan perangkat berbasis AI, akan terlampaui keterbatasannya. Efisiensi meningkat. Di samping itu akan diperoleh wawasan baru penanganan produk, yang sebelumnya tak tercapai. Misalnya pada industri manufaktur, dapat diperoleh wawasan pemanfaatan limbah. Ini sebelumnya hanya menjadi buangan. Wawasan diperoleh dengan meminta rekomendasi Gen-AI, soal pembuangan limbah yang aman bagi lingkungan serta berbiaya murah. Penghematan terjadi. Di sini, efisiensi dan penghematan jadi sumber pendapatan alternatif.
Dengan hadirnya satu perusahaan pengadopsi AI, jejaringnya terbentuk. Ini manakala perusahaan pengadosi awal, membutuhkan bahan baku dari perusahaan lain. Otomatisasi berbasis AI pengadopsi awal, ‘memaksa’ perusahaan pemasoknya menjalankan sistem serupa. Adopsi ini akan terus disusul adopsi-adopsi oleh perusahaan lainnya. Manakala jejaringnya makin luas, bidang yang dilayani AI turut meluas. Hal utama yang langsung dirasakan, meningkatnya kecepataan produksi. Inspeksi bahan baku hingga produk jadi, yang semula mengandalkan manusia mutlak, diganti oleh sistem berbasis AI. Seluruhnya ini membutuhkan transformasi di hulu, kecakapan sumber daya manusia.
Terkait tersedianya sumber daya manusia terampil AI, Organization for Economic Co-operation and Development, melalui OECD.org, 2025, menyebut terjadi kelangkaan keterampilan pada kemampuan AI tertentu. Ini nyata menghambat adopsi AI. Bahkan saat terjadi di perusahaan-perusahaan besar. Karenanya pengembangan sumber daya manusia terampil AI, menjadi hal mendasar dalam transformasi industri saat ini.
Sayangnya, saat perusahaan-perusahaan ingin memenuhi sumber daya manusia dengan keterampilan berbasis AI, dunia akademik, sebagai lembaga penyedia manusia terdidik, sering kali tak memenuhinya. Sumber daya manusia berwawasan AI, tak terjamin penyediaannya oleh lembaga ini. Karenanya, persyaratan sumber daya manusia yang sesuai dengan perkembangan jejaring industri berbasis AI, mutlak direvisi. Harus ada kolaborasi antara industri pengguna sumber daya manusia dengan sektor penyedianya. Ini bertujuan untuk merancang pengembangan keterampilan yang sesuai maupun menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri. Seluruh uraian ini, tertuang dalam laporan berjudul “The Adoption of Artificial Intelligence in Firms: New Evidence for Policymaking”.
Ketika ekosistem rantai pasok berbasis AI makin luas, dunia yang diwarnai pemanfaatannya terbentuk. Adopsi AI bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Kecuali jika siap menghadapi kepunahan, lantaran tak relevan dengan ekosistem yang berkembang. Seluruhnya ini, berpengaruh pada industri hilirnya. Termasuk industri testing, inspection & certification (TIC).
TIC secara sederhana meliputi layanan yang diberikan pada produk, sistem maupun servis, untuk dipastikan memenuhi persyaratan yang berlaku. Aktivitasnya meliputi pengujian dan pemeriksaan terhadap kepatuhan standar keamanan, keselamatan maupun kelayakan. Penerapannya mulai dari bahan pangan, obat, mainan, produk fashion, suku cadang kendaraaan hingga pada sistem produksi, kelestarian lingkungan, antisuap, keamanan, serta masih banyak lainnya. Dari aktivitas pengujian maupun pemeriksaan itu, diperoleh pernyataan terhadap dipenuhinya persyaratan. Itu dinyatakan dalam bentuk sertifikat.
Manakala ekosistem industri hulu berbasis AI telah terbentuk, pasti diikuti transformasi industri hilirnya. Enrique Garcia Perez, 2021, dalam “Automating Testing, Inspection, and Certification with Artificial Intelligence”, sepakat dengan pernyataan ini. Menurutnya, pasar TIC nilainya globalnya diperkirakan mencapai lebih dari 325 miliar dolar AS, di tahun 2028. Pencapaian sebesar itu, didorong oleh berbagai faktor. Termasuk alih daya perusahaan untuk pekerjaan jaminan mutu, supply chain yang terintegrasi secara global. Juga meningkatnya permintaan pengaturan terhadap material, produk, sistem, dan proses di seluruh sektor di dunia. Pesatnya permintaan itu, harus disikapi dengan memanfaatkan teknologi baru yang meningkatkan skalabilitas layanan. Termasuk menggunakan AI, yang mengotomatiskan layanan.
Pada bagian mana AI di industri TIC diterapkan? Perez secara konseptual menyebut pada pekerjaan TIC yang repetitif dan berpotensi membosankan. Ini misalnya pada inspeksi visual, deteksi kerusakan, maupun ekstraksi pelat nama. Inspeksi visual berbasis AI, melalui pemanfaatan sensor. Sedangkan deteksi kerusakan peralatan maupun bangunan, seperti retakan permukaan dan intrusi air dijalankan dengan menggunakan gambar inspeksi, yang datanya diinput pada machine learning. Sementara ekstraksi pelat nama saat sensor secara otomatis, mengekstrak informasi. Seperti nomor seri peralatan, nomor model, tanggal kedaluwarsa produk, maupun data lainnya dari gambar inspeksi.
Market Research Report, dalam laporannya berjudul “AI Impact Analysis on Testing, Inspection, and Certification (TIC) Industry” yang dimuat marketandmarket.com, 2025, menyebut otomatisasi di industri TIC berbasis AI, penerapannya luas. Keluasan itu mencakup inspeksi visual otomatis saat melakukan pemeriksaan visual di industri berpresisi tinggi. Presisi tinggi merupakan syarat di industri otomotif, elektronik, farmasi, dan kedirgantaraan. AI mendeteksi cacat permukaan, retakan, deformasi, atau kesalahan pelabelan. Penerapannya meningkatkan konsistensi, akurasi, berkurangnya waktu inspeksi, serta menghilangkan kelelahan manusia. Di sini AI mencari cacat mikro yang tak terlihat oleh mata manusia.
AI juga dapat diterapkan pada pemeliharaan prediktif dan pemantauan kondisi. Model AI digunakan untuk menganalisis data dari sensor IoT dan mendeteksi gejala kegagalan peralatan. Aplikasinya di sektor energi, manufaktur dan infrastruktur. Hal yang diperoleh, mengubah TIC sebagai model reaktif, menjadi model prediktif dan preventif. Implikasinya, waktu henti operasional nihil, kegagalannya dapat dicegah, dan biaya pemeliharaannya turun. Aplikasinya saat memantau getaran dan suhu turbin, atau jaringan pipa yang mencegah kegagalan. Penerapan lainnya, pada kepatuhan dan otomatisasi dokumentasi. Perangkat natural language processing (NLP) berbasis AI, mendeteksi dan menafsirkan sejumlah besar dokumen peraturan, standar dan laporan inspeksi untuk memastikan kepatuhan. Dengan cara ini proses audit dan tinjauan dokumen dipercepat. Kepatuhannya juga meningkat. Aplikasinya saat mengotomatiskan penilaian kepatuhan dengan standar ISO, FDA, atau CE.
Sementara optimasi proses sertifikasi, terjadi saat algoritma AI menyederhanakan sertifikasi dengan analisis faktor risiko, data historis, dan indikator kinerja untuk memutuskan sertifikasi. Hasil yang diperoleh, berkurangnya subjektivitas penilaian, jaminan konsistensi, dan singkatnya siklus sertifikasi. Aplikasinya, saat AI membantu auditor mengevaluasi aplikasi sertifikasi keamanan pangan berdasar data pemasok sebelumnya.
Terakhir, kembaran digital dan pengujian berbasis simulasi. Ini ditempuh melalui penggabungan AI dengan teknologi kembaran digital. Perusahaan menyimulasikan skenario pengujian di dunia nyata, untuk produk dan sistem dalam lingkungan virtual. Hasil yang diperoleh, pembuatan prototipe yang lebih cepat, pengujian fisik lebih sedikit, dan desain produk yang optimal sebelum diproduksi. Aplikasinya, saat menguji bahan konstruksi atau komponen elektronik di lingkungan ekstrem yang disimulasikan model AI. Hasil yang diperoleh berupa efisiensi operasional, penghematan biaya, peningkatan akurasi, skalabilitas dan terbangunnya wawasan berbasis data.
Seluruh pembahasan pemanfaatan AI pada industri TIC di atas, menyiratkan hadirnya kegairahan baru. Ini lantaran kehadiran metode-metode baru yang meningkatkan efisiensi, akurasi, kecepatan. Juga mampu menjangkau pengujian dan pemeriksaan yang tersembunyi dengan meminimalkan pekerjaan yang berulang dan membosankan. Tentu saja seluruhnya meningkatkan skalabilitas layanan. Layanan lebih banyak yang dapat diberikan. Seluruhnya ini berarti, membuka peluang adanya sumber-sumber pertumbuhan baru.
Namun tentu saja dengan pertimbangan penerapan yang tetap menjadikan manusia sebagai pusat aktivitas. Meniadakan itu, manusia hanya bakal jadi korban pertumbuhan. Lalu apa artinya pertumbuhan, jika manusia tak dapat menikmatinya?