Perlu Diketahui! Ini Dia Kebijakan dan Regulasi Industri Hijau

Perlu Diketahui! Ini Dia Kebijakan dan Regulasi Industri Hijau

Kebijakan dan penerapan regulasi industri hijau menjadi upaya global untuk mendukung keberlanjutan dan mengurangi dampak perubahan iklim. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan komitmen kuat terhadap target net zero emission (NZE) 2060, telah mengadopsi berbagai kebijakan hijau yang relevan. 

Di tingkat global, kebijakan hijau berfungsi sebagai pedoman internasional untuk mendorong pengurangan emisi karbon. Berikut adalah penjelasan kebijakan dan sektor industri hijau yang berlaku di Indonesia dan dunia.

Kebijakan dan Regulasi Industri Hijau di Indonesia

  1. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Hijau 2021-2030

PLN mengadopsi RUPTL hijau yang mengutamakan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi. Kebijakan ini berfokus pada penghentian bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara, dan mendukung transisi energi bersih bagi sektor manufaktur dan transportasi.

  1. Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK)

Mengatur perdagangan karbon, termasuk sistem cap and trade dan offset karbon.Regulasi ini mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi dan memanfaatkan teknologi rendah karbon. Utamanya berlaku bagi industri energi, manufaktur, dan kehutanan, yang berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca.

  1. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Mewajibkan industri untuk mematuhi standar lingkungan sebagai persyaratan dasar melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Hal ini berlaku di semua sektor, khususnya untuk sektor manufaktur, pertambangan dan energi. 

  1. Program Industri Hijau oleh Kementerian Perindustrian

Memberikan sertifikasi industri hijau kepada perusahaan yang menerapkan prinsip keberlanjutan dalam proses produksi, dan memberikan insentif berupa pengurangan pajak untuk teknologi hemat energi. Tentunya, langkah ini mendorong pengembangan sektor manufaktur berkelanjutan seperti semen, tekstil, dan otomotif.

  1. Fasilitas Insentif Fiskal dan Non-Fiskal

Pemerintah memberikan insentif seperti tax holiday untuk investasi dalam penelitian dan pengembangan energi terbarukan. Kebijakan ini mendorong investasi hijau di sektor energi dan manufaktur.

Kebijakan dan Regulasi Industri Hijau Global

  1. Paris Agreement 2015

Negara-negara berkomitmen untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan upaya untuk membatasi hingga 1,5°C. Negara-negara, termasuk Indonesia, harus mengembangkan Nationally Determined Contributions (NDCs) untuk mengurangi emisi karbon. Hal ini tentunya memengaruhi kebijakan energi dan industri di semua negara anggota, termasuk penghapusan bertahap penggunaan bahan bakar fosil.

  1. European Green Deal

European Green Deal merupakan Strategi Uni Eropa untuk mencapai climate neutrality pada tahun 2050, yang mencakup perdagangan karbon, investasi hijau, dan transisi energi bersih. Meski diterapkan di Uni Eropa, strategi ini berpengaruh pada ekspor Indonesia, khususnya produk kelapa sawit, kayu, dan tekstil, yang harus memenuhi standar keberlanjutan Uni Eropa.

  1. China’s Carbon Neutrality Policy

China menargetkan netralitas karbon pada tahun 2060 dengan mengurangi emisi industri berat, memperluas energi terbarukan, dan memanfaatkan teknologi carbon capture. Hal ini berdampak karena menjadi pesaing dan mitra bagi Indonesia dalam pengembangan teknologi energi terbarukan.

  1. US Inflation Reduction Act 2022

Kebijakan ini memberikan insentif besar-besaran untuk pengembangan energi bersih, mobil listrik, dan infrastruktur hijau. Hal ini juga menciptakan peluang pasar ekspor untuk komponen hijau dari Indonesia.

  1. Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)

CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) adalah kebijakan Uni Eropa yang bertujuan untuk mengurangi risiko kebocoran karbon (carbon leakage) dengan menerapkan penyesuaian harga karbon pada produk impor berdasarkan emisi karbon yang dihasilkan selama proses produksinya. Mekanisme ini memastikan bahwa produk impor dari negara non-UE tunduk pada standar emisi karbon yang serupa dengan yang diterapkan pada produsen lokal di Uni Eropa.