Pemerintah Lakukan Moratorium Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Guna Meningkatkan Produktifitas

[:id]Pemerintah akan memperpanjang moratorium alih fungsi kawasan hutan alam untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal itu sesuai dengan amanat Presiden Jokowi.

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Prof. San Afri Awang melalui konferensi pers yang digelar di Kementerian LHK, Jakarta pada Senin (18/7) sesuai dengan release yang diterima Mutu Certification International menyatakan bahwa, “Potensi luas lahan minimal yang dapat dijadikan obyek moratorium sawit adalah seluas ± 948.418,79 ha. Jika moratorium ditetapkan selama 5 tahun, maka luas ini sama dengan mencegah emisi gas rumah kaca sebesar 0,26 Gt eCO2 (0,05 Gt eCO2/Tahun) atau hampir mencapai 20% dari baseline emisi deforestasi tahunan sebesar 0,293 GtCO2/Tahun (Indonesian FREL Document)”. Potensi luasan minimal ini didapatkan dari data jumlah luasan yang sedang diusulkan oleh perusahaan untuk izin pelepasan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Penjelasan tersebut menurut Dirjen PKTL menandai bahwa moratorium/penghentian sementara perizinan perkebunan kelapa sawit memiliki konsep untuk memperbaiki tata kelola komoditas kelapa sawit nasional, yaitu dalam hal perlindungan lingkungan, pengendalian perizinan dan peningkatan produktifitas perkebunan kelapa sawit, peningkatan pembinaan petani, pengembangan industri hilir kelapa sawit, dan penurunan emisi karbon nasional dari deforestasi dan degradasi hutan sesuai dengan instruksi langsung Presiden Jokowi.

Ditekankan oleh Dirjen PKLT bahwa moratorium ini adalah upaya perbaikan komoditas kebun sawit baik milik swasta maupun milik rakyat, dengan melakukan upaya peningkatan produktifitas. Pada saat yang sama, perlu dilakukan penyempurnaan standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) agar produk sawit dari kebun rakyat diakui pada tingkat pasar internasional.

Lebih lanjut Dirjen PKLT juga menjelaskan bahwa Kementerian LHK telah menetapkan kriteria untuk menilai lahan-lahan yang akan dimoratorium sebagai perkebunan kelapa sawit, yaitu kriteria (1). Hasil evaluasi terhadap pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan untuk tujuan perkebunan kelapa sawit yang belum dikerjakan/dibangun, (2). Lahan yang terindikasi tidak sesuai dengan tujuan pelepasan dan tukar menukar, (3). Izin perkebunan kelapa sawit yang sudah existing, namun terindikasi dipindah-tangankan pada pihak lain, (4). Izin perkebunan kelapa sawit yang sudah existing, namun tutupan hutannya masih produktif, dan (5). Izin perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan.

Penundaan izin dan evaluasi ini perlu diatur melalui Instruksi Presiden, mengingat perkebunan kelapa sawit khususnya yang bersumber dari kawasan hutan kewenangannya diatur secara konkuren (kewenangan bersama) antar instansi baik Pusat maupun Daerah. Instruksi Presiden yang dimaksud akan mengatur kewajiban khusus pada lingkup eksekutif, yaitu instansi pemerintah yang menangani sawit mulai dari instansi yang menangani penerbitan izin pada produksi hulu hingga hilirnya. Diharapkan seluruh instansi yang ada di Pusat, maupun Pusat dengan Daerah akan saling bersinergi dalam mengeluarkan kebijakan. Sedangkan substansi yang diatur dalam Instruksi Presiden dimaksud adalah mengenai penundaan izin baru serta evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit dari pelepasan Kawasan Hutan.

Sumber :
Marketing Communication
PT.MUTUAGUNG LESTARI

 

 [:en]The Government is to extend suspension of permits regarding changes of the natural forest area to be palm oil plantations, as it is as the President Jokowi has instructed.

According to the director General of Plano logy and Environment Management (PKLT), Professor San Afri Awang through a press conference held in the Ministry of Forestry and Environment on Monday July 18 and a press release received by Mutu Certification International stating: “The minimum land area that can be made into moratorium or suspended palm oil object is more or less 948,418.79 hectares. If the moratorium is declared for 5 years then this number of area is equivalent in avoiding greenhouse gasses emissions amounted 0.26 GT eCO2 annually or almost reaching 20% from the baseline of annual deforestation emission of .293 GtCO2 annually (Indonesia FREL Document). Potentials of this minimum area was taken from total of areas which is proposed by Companies to seek permits to convert forest areas into palm oil plantations.

The explanation according to the Directorate General indicated that the moratorium / temporary suspension of palm oil permits was a concept of improving commodities of national palm oil management, which were protecting the environment, management of permits, increase production of palm oil plantations, increasing farmers guidance, the development of palm oil down streams and decreasing national carbon emission from deforestation and degradation of forests as instructed by President Jokowi.

The Director General of PKLT stressed out that the moratorium was a venture for the betterment of palm oil commodities products whether owned by private businesses or ordinary farmers to increase productivity. At the same time a perfection of the ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil Standard) should be taken in order that farmers’ palm oil product also obtained the international market stage recognitions.

Furthermore, the PKLT Director General explained that the Environment and Forestry Minister had determined the criteria moratorium areas and decided to be palm oil plantations, which was criteria (1): Evaluation results of land release and exchange of forest lands for palm oil plantations which are not established. (2) Lands area that were indicated to be inconsistent with releases and exchanges schedules, (3) Existing palm tree plantations Company permits that were indicated to be transferred to another parties. (4) Existing palm tree plantations but occupied lands consisting production forest. (5) Permits of palm oil plantations which are located in natural forests.

The suspension of issuing permits and its evaluations are urgently be regulated through a Presidential Instructions. As palm tree plantations resources are especially coming from forestry which is a concurrence authorization by both Central and Regional Governments, Presidential instructions mentioned will arrange special obligations to government executives who will rule palm tree plantations up and downstream. It was hoped all institutions centrally and regionally will synergize in issuing policies. While the regulations substance ruled under the Presidential Instructions is regarding the suspension of permit issuance and palm tree plantation permits evaluation: separations from the forest area.

Sumber :
Marketing Communication
PT.MUTUAGUNG LESTARI[:]