Antara Tren Sepeda, Bisnis, dan Ekonomi Digital

Tren sepeda yang booming baru baru ini mengingatkan kita pada kemunculan arus gaya hidup baru, yang menyeimbangkan antara gaya dan kesehatan tubuh.
Masyarakat yang merasa begah karena terkungkung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena pandemi Covid-19 selama berbulan-bulan, merasa perlu melenturkan tubuhnya dengan berolahraga. Bersepeda pun menjadi saluran pembalasan dendamnya.
Sementara itu, kalangan masyarakat berpendapat bahwa bersepeda menjadi jalan olahraga yang aman selama pandemi Covid-19. Benar atau tidak? Hanya waktu yang akan menjawab.
Terlepas dari polemik di atas, bukan kali ini saja tren sepeda menimbulkan kontroversi. Jika tren bersepeda di indonesia sekarang berkisar pada gaya hidup versus kesehatan tubuh, maka tren sepeda sebelumnya berbicara pula soal gaya hidup versus kesehatan, khususnya kesehatan bisnis. Hal ini pernah terjadi (atau masih sedang terjadi) di Tiongkok. Berikut cerita ringkasnya.
Ekonomi Digital Peminjaman Sepeda Online Ala Tiongkok
Status Tiongkok sebagai inovator ekonomi digital pada dekade ini tak lagi dapat dipungkiri. Mulai dari belanja digital harga tradisional ala Taobao milik Alibaba, pembayaran digital ala Alipay (milik Alibaba juga), sampai ekosistem ekonomi digital ala WeChat yang menyajikan semua layanan dari pesan pribadi sampai pembayaran digital dalam satu muka aplikasi.
Tiongkok juga tak mau ketinggalan dalam urusan kesehatan dan gaya hidup, tentu berlandaskan pada kerangka ekonomi digital yang sedang dibangun oleh pemerintah negara tirai bambu itu. Dalam bidang kesehatan dan gaya hidup, Tiongkok turut melahirkan model bisnis peminjaman sepeda secara online, salah satu di antaranya adalah Ofo.
Ofo didirikan pada tahun 2014 oleh lima orang anggota klub bersepeda di Universitas Peking, dengan seorang pemotor kunci bernama Dai Wei, seorang jebolan Master of Science (M.Sc) di bidang ekonomi dari Universitas Peking. Ofo terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada tahun 2017, di mana diperkirakan valuasi Ofo telah mencapai US$ 1 miliar.
Memasuki tahun 2018, Ofo, yang sejak tahun 2015 harus berkompetisi secara cutt throat dengan Mobike, perusahaan penyewaan sepeda lainnya asal Tiongkok, mulai kehabisan napas.
Tercatat, pengguna aktif Ofo turun dari 26 juta pengguna pada Maret 2018 menjadi tinggal 10 juta pengguna saja pada Februari 2019. Sementara Mobike juga tidak jauh lebih baik dengan jumlah pengguna pada Maret 2018 sebanyak 22 juta pengguna turun ke 12 juta pengguna pada Februari 2019.
Alhasil, Dai Wei sekarang masuk dalam daftar hitam kredit Pemerintah Tiongkok karena gagal memenuhi berbagai kewajiban kredit. Dai Wei tidak bisa menggunakan beberapa layanan kereta api, maskapai penerbangan, sampai pembelian barang-barang tertentu.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Paling tidak terdapat tiga alasan kenapa hal tersebut terjadi.
Pertama, Ofo dan Mobike terjebak dalam perang harga sampai batas harga yang kelewat murah. Ofo dan Mobike, untuk beberapa waktu yang signifikan, sempat mematok biaya langganan layanan mereka hanya sebesar CH¥ 1 per bulan (sekitar Rp 2 ribu). Walhasil, biaya operasional perusahaan menjadi tidak tertutupi.
Alasan kedua adalah mereka berkembang terlalu cepat dan memiliki suplai barang (sepeda sewaan) terlalu besar. Sebab, penambahan barang sama dengan penambahan biaya operasi. Di sisi lain, pendapatan tidak berkembang secepat perkembangan biaya. Sebagai gambaran, siapa pun yang pernah ke kota-kota besar di Tiongkok pasti pernah melihat tumpukan sepeda sewaan di sana-sini. Demikian gambaran betapa melimpahnya suplai sepeda sewaan di Tiongkok.
Alasan ketiga adalah pendapatan dari data pengguna aplikasi yang belum cukup menutupi biaya operasional perusahaan. Meskipun dijanjikan dengan manis bahwa segalanya butuh data dalam ekonomi digital, namun tampaknya penjualan dan integrasi data belum memberikan dampak terhadap pendapatan perusahaan dalam kerangka ekosistem ekonomi digital yang dibayangkan oleh perusahaan.
Sumber : kumparan.com
PT. MUTUAGUNG LESTARI