Tarik Ulur Kelapa Sawit: Antara Kepentingan dan Kegentingan

Sepanjang tahun 2022, industri kelapa sawit nasional melewati masa-masa roller coaster yang pelik. Sebab, tingginya permintaan di tengah ketegangan geopolitik akibat peperangan antara Rusia kontra Ukraina menyebabkan ketidakstabilan pasar kemudian merembet ke sektor pangan nasional. Sejak 21 Desember 2021, harga Crude Palm Oil (CPO) global terus naik, dari RM 4.384/ton hingga mencapai titik tertinggi pada 29 April 2022 di angka RM 7.104/ton. Masa-masa tersebut adalah saat yang terberat bagi Indonesia

Pemerintah mengambil langkah taktis baik dengan intervensi pasar ataupun kebijakan fiskal. Adalah benar apabila sawit merupakan persoalan lintas sektor. Namun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memegang kontrol besar dalam persaingan usaha dalam hal ini ialah minyak goreng. Kemendag telah mengeluarkan banyak peraturan menteri (permen) beserta turunan di bawahnya berupa keputusan menteri perdagangan (kepmendag) dalam beberapa bulan terakhir.

Silih berganti peraturan berlaku. Satu kebijakan berjalan, satu bulan kemudian dicabut dan diganti dengan yang lain. Misal, Kemendag mulai memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng melalui Permendag Nomor 06/2022, lantas dua bulan kemudian dicabut dengan Permendag Nomor 11/2022 yang memandatkan khusus harga minyak kemasan dilepas ke harga pasar.

Selain itu, diterbitkan juga Kepmendag Nomor 129/2022 dan 170/2022 yang mengatur pemenuhan distribusi dalam negeri berupa Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Langkah ini diikuti dengan intervensi fiskal berupa menaikkan tarif ekspor sawit dan turunannya serta pemberlakuan tarif progresif dari Kementerian Keuangan.

Masih belum dapat meredam harga yang terus meroket, Presiden Jokowi memutuskan melarang kegiatan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya menjelang Hari Raya Idulfitri. Langkah itu diambil untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik pasca tidak ada perubahan signifikan dari pemberlakuan HET minyak curah ataupun DMO. Padahal, DMO sudah dinaikkan semula 20% ke 30%. Secara eksplisit menandakan dua kebijakan tersebut telah gagal.

Tumpang Tindih DMO-DPO dan Gelagat Korporasi
Selama kenaikan harga minyak goreng berlangsung, harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di level petani turut naik. Hal ini menjadi angin segar terutama bagi petani di provinsi kantong-kantong perkebunan kelapa sawit. Tercatat, pada bulan April harga TBS di Provinsi Riau berada di kisaran Rp. 3.900/Kg. Angka yang terbilang tinggi semenjak anjloknya harga TBS pada 2012 silam. Menguatnya harga TBS pada rentang bulan Januari-April ditengarai oleh korporasi yang menikmati tingginya harga CPO dunia. Ketika harga CPO tinggi, maka harga TBS di tingkat petani ikut terkerek.

Namun demikian, Dr. Usmar dari Universitas Moestopo (Beragama) menjelaskan bahwa DPO yang diberlakukan oleh Kemendag sejatinya tidak efektif karena berseberangan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018.

Semisal pada Maret 2022, DPO ditetapkan sebesar Rp. 9.300/kg padahal harga CPO dunia pada saat itu di kisaran MYR 6.000-7.000/ton setara dengan Rp. 18.000-Rp. 21.000/kg. Apabila korporasi mengikuti DPO yang ditetapkan oleh pemerintah, maka mereka akan merugi secara biaya produksi dan kehilangan opportunity cost untuk menjualnya ke luar negeri mengingat selisih keduanya berbeda dua kali lipat.

Korporasi menggunakan dalih permentan yang mengamanatkan harga TBS menginduk kepada harga sawit mentah. Oleh karenanya, kebijakan DPO dari Kemendag agaknya ditinggalkan oleh korporasi. Analisis ini yang tidak dibaca kala Presiden Jokowi mengambil alih dengan melarang ekspor CPO secara keseluruhan pada akhir April.

Akan tetapi, selama pelarangan ekspor harga TBS seketika terjun bebas, anjlok ke angka Rp. 1.000/kg. Disinyalir korporasi menahan stok serta memperkecil produksi sehingga mengakibatkan buah sawit tidak laku. Para pekebun di perkebunan swadaya dan kemitraan yang paling terdampak.

Secara teknis, walaupun sudah diatur oleh Tim Penetapan Harga TBS oleh masing-masing pemerintah provinsi, ialah korporasi yang sesungguhnya mengatur harga TBS karena menjadi satu-satunya ‘pasar’ jual-beli buah sawit. Pada saat jumlah produksi ditahan, maka pekebun akan sangat rentan.

Tak hanya itu, pekebun swadaya yang tidak memiliki kontrak dengan perusahaan kian terancam mengingat harga TBS hanya mengatur pekebun yang telah bergabung dengan kelembagaan dan telah menjalin kerja sama dengan perusahaan. Apabila pekebun swadaya ingin menjual buah sawit ke perusahaan, harus melalui tengkulak yang dalam hal ini berperan sebagai pihak ketiga. Maka jangan heran, apabila harga TBS bagi bagi pekebun swadaya lebih rendah dari harga TBS yang berlaku.

Oleh karena itu, diperlukan pengkajian ulang permentan yang mengatur harga penjualan sawit. Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan bagi pekebun swadaya. Semisal menerapkan harga tarif bawah ditopang dengan Badan Pengelola Dana Pekebunan Sawit (BPDPKS) menyuntikan insentif sehingga harga penjualan tidak fluktuatif.

Langkah ke depan
Saat ini, yang diperlukan bagi kelangsungan industri sawit ialah payung hukum yang holistik baik bagi perusahaan ataupun pekebun. Sayangnya Rancangan Undang Undang Perkelapasawitan yang sejak 2015 diusulkan hingga kini tak kunjung dibahas. Tarik-ulur RUU ini memperumit harmonisasi peraturan teknis di bawahnya yang acapkali menimbulkan tumpang tindih kuasa antar kementerian.

Sudah saatnya Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia memiliki undang-undang khusus perkelapasawitan sebagai komoditas unggulan. Sinkronisasi sangat diperlukan antara pemerintah selaku regulator, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sebagai perkumpulan pengusaha, sertifikasi perkebunan dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ataupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), BPDKS yang membantu perkebunan rakyat, dan para pekebun sendiri.

Apalagi kegiatan ekspor CPO sudah kembali dibuka. Ditambah dengan insentif fiskal dari pemerintah yang memperpanjang tarif pungutan ekspor USD0 hingga akhir Oktober. Selain itu, tarif bea keluar terus turun semula US$ 792/MT (1-15 Oktober) ke angka US$713/MT (15-30 Oktober). Semakin mendekati ambang batas US$680/MT. Potret ini menunjukan perbaikan.

Dengan demikian, apabila manajemen sawit nasional hanya dikelola melalui peraturan kementerian, dikhawatirkan turbulensi kelangkaan akan menghantui kembali di tengah ketidakpastian geopolitik. Terakhir, pernah kah terpikirkan bahwa sebenarnya negara dapat memanfaatkan komoditas sawit sebagai ‘senjata diplomasi’ dalam perundingan internasional. Siapa tahu?

 

Sumber :

https://www.cnbcindonesia.com/opini/20221107175647-14-385819/tarik-ulur-kelapa-sawit-antara-kepentingan-dan-kegentingan